Selamat Datang di Blog LAW INSPIRATION Milik PINUS JULIANTO SINAGA

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL


ANALISA SENGKETA PEREBUTAN KEPULAUAN FALKLAND/MALVINAS ANTARA INGGRIS DAN ARGENTINA (1982)

DISUSUN OLEH

PINUS JULIANTO SINAGA


ILMU HUKUM
HUKUM INTERNASIONAl
UNIVERSITAS ISLAM RIAU ( UIR )
2011
















 KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan pada penulis sehingga penulis dapat mengerjakan penulisan makalah ini. Hanya dengan Kuasa dan Izin dari-Nya penulis memperoleh sesuatu hal yang berharga dalam kehidupan penulis pribadi secara khususnya dan pembaca pada umumnya demi kebaikan kita bersama.

Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi junjungan ummat Islam di seluruh dunia yang telah membawa dunia ini dengan segala pemikirannya dari pemikiran persis pada zaman kegelapan kepada pemikiran dimana pola pemikiran ummat mendapatkan penerangan dan kemajuan jaman.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Syafrinaldi, S.H.,M.Hum dan M. Risqi Azmi, SH.,MH. yang telah menuntun dan mengarahkan penulis dalam penulisan makalah ini.

Dalam berbagai hal, “tidak ada segala sesuatu yang sempurna” adalah sebuah ungkapan sangat dijunjung penulis. Sehingga penulis mengajak pembaca agar dapat memahami apabila terjadi kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Penulis sangat membutuhkan saran, kritikan dan masukan yang sifatnya membangun baik bagi penulis secara pribadi dan pembaca pada umumnya.


   Pekanbaru, 22 Januari 2009

                              


                               Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Kepulauan Falkland pada awalnya diperebutkan Inggris dan Spanyol selama bertahun-tahun. Sampai pada 1816, terjadi perkembangan baru di Amerika Selatan. Argentina menyatakan merdeka dari jajahan Spanyol, dan membuat batas wilayah negaranya sampai ke Kepulauan Falkland. Jadilah kini, Inggris yang berseteru dengan Argentina memperebutkan kepulauan di Amerika Selatan itu.
Perebutan itu terus berlangsung selama bertahun-tahun. Bahkan Argentina berhasil memasukkan masalah klaim kepulauan itu ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada 1965, PBB mengeluarkan Resolusi 2065 yang menyebutkan perlunya penyelesaian masalah itu, dengan memperhatikan kepentingan penduduk yang ada di kawasan tersebut.
Pulau Malvinas ditemukan pada tahun 1832 oleh orang-orang Inggris dan menjadi salah satu koloni Inggris. Argentina sendiri selalu mengklaim bahwa Malvinas adalah bagian dari kawasan negaranya. Dengan alasan inilah, Aregentina menyerbu Pulau Malvinas pada tahun 1982. Tindakan Argentina ini tidak diterima oleh Inggris. Tentara Kerajaan Inggris kemudian dikirim ke kawasan itu dan terjadilah pertempuran di antara keduanya. Kecanggihan militer Inggris akhirnya mengantarkan tentara negara itu meraih kemenangan dan mengusir tentara Argentina dari Malvinas. Meskipun secara militer Argentina telah kalah, Bounes Aires masih melakukan langkah-langkah diplomasi untuk memiliki pulau tersebut. Pada abad ke-18, Louis de Bougainville asal Perancis mendirikan pangkalan angkatan laut di Port Louis, Falkland Timur pada 1764. John Byron asal Britania, yang mengabaikan kehadiran Perancis, juga mendirikan pangkalan di Port Egmont, Falkland Barat pada 1765. Pada 1766, Perancis menjual pangkalannya ke Spanyol. Spanyol kemudian menyatakan perang terhadap Britania Raya pada 1770 untuk memperebutkan seluruh wilayah kepulauan. Perselisihan tersebut berhasil diselesaikan setahun kemudian, dengan Spanyol menguasai Falkland Timur dan Britania Raya menguasai Falkland Barat. Semasa penyerbuan Britania di Rio de la Plata, Britania mencoba untuk merebut Buenos Aires pada 1806 dan 1807, namun gagal.
Masalah ini sebenarnya belum terselesaikan hingga abad ke-19. Untuk merebut Falkland, Argentina mendirikan koloni hukum pada 1820, dan pada 1829 melantik Luis Vernet sebagai gubernur. Britania Raya kembali merebut kepulauan itu pada 1833, namun Argentina tidak mau melepas klaimnya. Sejumlah ketegangan menyebabkan Argentina menyerbunya pada 1982. Namun Britania Raya kembali berhasil merebutnya. Tidak ada orang pribumi yang tinggal di Falkland ketika bangsa Eropa datang, walaupun ada beberapa bukti yang diperdebatkan mengenai kedatangan manusia sebelumnya. Namun, bukti otentik dan fakta nya tidak kredibel.
Kemerdekaan yang diraih provinsi-provinsi jajahan Spanyol di Amerika Latin pada 1816, ternyata berbuntut panjang. Argentina, sebagai negara yang baru terbentuk, selanjutnya giat mengumpulkan pulau-pulau bekas jajahan Spanyol yang dianggap layak masuk ke wilayah kedaulatannya. Di antaranya adalah Las Malvinas yang juga diklaim milik Inggris. Pertikaian demi pertikaian pun meletus dan mencapai puncaknya pada April 1982 (perang Falkland/Malvinas).
Otoritas eksekutif berada di bawah wewengan Ratu dan menjadi mandat gubernur. Pertahanan dan keamanan merupakan tanggung jawab Britania Raya. Sebuah konstitusi disusun pada 1985. Delapan orang Dewan Legislatif dipilih setiap empat tahun. Dewan Eksekutif yang menasihati Gubernur terdiri dari Kepala Eksekutif, Sekretaris Finansial dan tiga Dewan Legislatif. Dewan Eksekutif dipimpin oleh Gubernur. Dewan Legislatif terdiri dari Kepala Eksekutif, Sekretaris Finansial dan delapan Dewan Legislatif.
Kekalahan Argentina dalam perebutan Falkland mengakibatkan runtuhnya kekuasaan diktator militer Argentina pada 1983. Pertentangan mengenai kontrol kepulauan tersebut masih berlangsung hingga kini. Pada 2001, Perdana Menteri Britania Tony Blai[[1]] menjadi tokoh Britania pertama yang berkunjung ke Argentina sejak perang terjadi. Pada peringatan perang ke-22, Presiden Argentina Nestor Kirchner[[2]] berpidato dengan salah satu topiknya mengenai keyakinan bahwa Kep. Falkland suatu saat akan menjadi milik Argentina. Selama menjabat sebagai presiden pada 2003, Kirchner menjadikan kepulauan tersebut sebagai prioritas utamanya. Pada Juni 2003, isu tersebut menjadi pembicaraan sebuah komite PBB, dan berbagai langkah telah ditempuh untuk membuka pembicaraan dengan Britania untuk menyelesaikan masalah ini. Penduduk Falkland tetap melihat diri mereka sebagai warga negara Britania.
Kepulauan Falkland atau Malvinas adalah rangkaian pertempuran laut yang paling besar dan panjang sejak perang Pasifik di masa Perang Dunia II. Perang yang disebut Operasi “bersama” olehInggris, berlangsung selama lima bulan, dan melibatkan operasi-operasi amfibi yang terpenting sejak pendaratan Incheon pada 1950, saluran pipa logistik sepanjang lebih dari 10.000 km, dan daerah pertempuran musim dingin yang jauhnya 5.300 km. dari pangkalan bersahabat terdekat dekat Pulau Ascension.
Klaim Argentina atas Kep. Falkland (yang disebutnya Malvinas), didasarkan semata-mata pada kedekatan ke daratan Argentina dan apa yang disebutnya sebagai “warisan” kedaulatan dari pemerintahan Spanyol yang gagal pada 1810. Klaim ini mempunyai makna emosional penting bagi rakyat Argentina, dan telah selama beberapa generasi menjadi bagian kurikulum sejarah di sekolah negeri. Motivasi sesungguhnya bagi invasi Argentina pada April 1982 itu lebih disebabkan oleh ancaman yang dirasakan oleh junta militer Jenderal Leopoldo Galtieri yang berkuasa: ketidakstabilan internal di Argentina yang mengancam pemerintahan diktaturnya. Galtieri membutuhkan pengalihan perhatian yang mempersatukan, konflik luar untuk mengalihkan publik dan mempertahankan kontrol di dalam negeri.
Perang falkland berlangsung selama 74 hari antara Inggris dan Argentina yang memperebutkan kepulauan Falkland atau Malvinas. Malvinas mnejadi wilayah Inggris sejak 1883 dan Argentina menyatakan gugus yang terdiri dari 280 pulau itu adalah warisan sah mereka dari zaman penjajahan Spanyol yang gagal pada 1810. Inggris mengeluarkan seluruh orang Argentina dari pulau itu[[3]].
Pada 19 Maret 1982, Argentina membuka konflik dengan mendaratkan 30 kapal rongsokan di Pulau Georgia Selatan dan mengibarkan bendera Argentina. Provokasi Argentina ini adalah untuk memancing perhatian tentara Inggris yang ada di Falkland. Pertahanan di Falkland terdiri dari 79 marinir Inggris dan 120 pertahanan sipil. Tentara Inggris di Falkland segera memakan umpan strategi Argentina dengan mengirim satuan tugas ke Georgia Selatan esoknya. 22 marinir dan seorang letnan dikirim kesena dengan kapal HMS Endurance dari Port Stanley/Puerto Argentino. Mereka diperintahkan untuk mengusir kapal-kapal perang Argentina itu kembali ke Argentina. Endurance tiba pada 23 Maret dan para marinir itu mendarat[4].
Dengan alasan meyelamatkan kapal-kapal mereka, Argentina mendaratkan 100 pasukannya ke Georgia Selatan pada 26 maret. Pengalihan serangan Argentina ke Georgia selatan menjadi alasan Argentina untuk menyerang seluruh Falkland. Pada subuh 2 april 1982 hari jumat sekitar 4500 pasukan Argentina yang terdiri dari angkatan laut, darat dan udara menyerang Puerto Argentino/Port Stanley[[5]]. Pertahanan Falkland dengan ibukota Port Stanley diserbu dan diduduki pasukan Argentina dan akhirnya gubernur Inggris di kepulauan tersebut Rex Hunt menyerah pada Argentina.
Pengalihan serangan ke Georgia Selatan oleh Argentina merupakan kejutan, dan memberikan alasan bagi invasi 2 April di Pulau Falkland Timur dan direbutnya Stanley. Pasukan-pasukan tambahan Argentina tiba secara teratur dan dalam tempo 24 jam lebih dari 4000 pasukan Argentina mendarat di pulau-pulau itu.
Penguasa Argentina mengungsikan warga negara Inggris yang mendiami Falkland  ke kedutaan besar Inggris dengan pesawat ke sebuah negara Amerika latin . Argentina mengangkat Jenderal Benyamin Mendez sebagai gubernur militer di Falkland. Reaksi Inggris setelah invasi Argentina ke Falkland adalah memutuskan hubungan diplomatiknya pada hari itu juga-2 april 1982.
Pada 12 April, Inggris mengumumkan Zona Eksklusif Maritim 200 mil di sekitar pulau-pulau itu, dengan maksud memperlemah pasokan Argentina dan upaya-upaya memperkuat pasukannya. Tiga kapal selam penyerang nuklir Inggris memperkuatnya sampai tibanya gugus tugas atas air tiga minggu berikutnya. Sementara kapal-kapal selam itu terus melakukan operasi-operasi blokade sementara, 65 kapal Inggris dikirim ke Falklands pada akhir April: 20 kapal perang, 8 kapal amfibi, dan 40 kapal logistik dari Pasukan Tambahan Angkatan Laut Kerajaan dan Angkatan Laut Perdagangan.
Gugus tugas Inggris membawa 15.000 orang, termasuk kekuatan pendaratan yang terdiri atas 7000 Marinir Kerajaan dan tentara. Kapal-kapal logistik membawa bekal untuk pertempuran selama sekitar tiga bulan. Akhirnya, pada 25 April, sebuah kelompok aksi atas air Inggris yang terdiri atas dua kapal perusak, enam helikopter dan 230 pasukan menaklukkan pasukan pengawal Argentina yang jumlahnya 156 orang di Georgia Selatan.
Gugus tugas AL Kerajaan Inggris tiba di timur Falkland pada1 Mei. Rencananya adalah membangun keunggulan laut dan udara dengan memikat kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat Argentina keluar dari daratan dan menghancurkan mereka, diikuti dengan pendaratan amfibi di Stanley. Dua kapal selam penyerang Inggris ditempatkan di utara Falklands untuk mengamati kapal-kapal Inggris dalam menghadapi gugus tugas AL Argentina yang utama dan kapal induk Veinticinco de Mayo, yang telah beroperasi di wilayah itu sejak 20 April.
Kapal selam ketiga ditempatkan di selatan Falkland untuk memantau Exocet yang dipasang di kapal penjelajah Argentina General Belgrano dan dua kapal perusak yang mendampinginya. Kapal selam Inggris HMS Conqueror mentorpedo dan menenggelamkan General Belgrano, yang kehilangan 368 dari 1042 awaknya. Gugus tugas Argentina di utara kembali ke pangkalan dan tetap tinggal di sana hingga perang berakhir. De Mayo menurunkan pesawat-pesawat A-4nya yang beroperasi dari pangkalan-pangkalan lepas pantai hingga perang usai.
Dalam suatu serangan kilat pertengahan mei , komando pasukan Inggris menyerbu pantai untuk meledakkan sebuah gudang mesiu dan menghancurkan pesawat terbang di pantai Peeble untuk memotong suplai ke pasukan Argentina. Argentina kehilangan 17 pesawat terbang dan Sebuah fregat Inggris tenggelam dalam suatu serangan udara Argentina terhadap satuan tugas Inggris yang mendaratkan pasukan Inggris ke kep Malvinas. HMS Ardent yang digunakan sejak 1977 dengan awak 175 orang, 20 hilang dan 30 luka. Fregat berbobot 3250 ton yang tenggelam itu adalah kapal perang ke 2 Inggris yang tenggelam selama krisis yang berjalan 7 pekan. 21 mei bendera Iggris “ Union Jack” berkibar kembali di kepualauan Falkland setelah 1000 marinir dan pasukan para lainnya mendarat di pelabuhan San Carlos. Pasukan Inggris melakukan pendaratan dengan empuk dan berhasil . Pasukan-pasukan pendarat dilengkapi dengan mortar dan senapan. Setelah pendaratan itu terjadi pertempuran di udara, darat, laut, dan udara secara besar-besaran di Malvinas. Pasukan Argentina melancarkan serangan besar-besaran yang bertujuan untuk memukul pasukan penyerang Inggris di punggung pulau itu ke laut.
11 juni, hari jumat dengan lindungan gelap malam, Inggris memulai serbuan terakhir yang lama ditungu-tunggu. Dengan pasukan Argentina yang tertidur pasukan Inggris berhasil menyelinap ke pos depan Argentina dan maju sampai lima mil dari Puerto Argentino/Port Stanley dengan memotong setiap jalan untuk lolos dari Puerto Argentino.
Serangan udara dari pangkalan-pangkalan di Argentina terhadap kapal-kapal Inggris sering terjadi selama perang. Meskipun memiliki pertahanan AAW (“anti-air warfare” – peperangan anti serangan udara) yang canggih serta menggunakan Sea Harriers yang cukup sukses dalam pertahanan udara ke udara, AL Inggris hanya bertahan dalam menghadapi kekuatan udara Argentina. Serangan pesawat Argentina menghantam sekitar 75 persen dari kapal-kapal Inggris dengan bom.
Namun hanya tiga kapal perang Inggris (satu perusak dan dua fregat) serta dua kapal pendarat yang tenggelam atau rusak berat oleh bom. Kapal-kapal Inggris lainnya yang tenggelam, satu kapal perusak (HMS Sheffield) dan satu kapal pemasok, dihantam oleh misil Exocet. AL Inggris berhasil menghancurkan lebih dari setengah dari 134 pesawat tempur Argentina selama perang dengan menggunakan kombinasi perang listrik, Harriers, misil darat ke udara, dan artileri anti pesawat udara.
Perang diakhiri dengan menyerahnya Argentina pada 14 Juni 1982, setelah tiga minggu operasi amfibi Inggris dan operasi darat mereka di Pulau Falkland Timur. Senin 14 Juni pukul 21.00 waktu setempat (Selasa pagi waktu Indonesia) pasukan Argentina menyerah di Port Stanley, setelah 74 hari menguasai kepulauan tersebut. Brigjen Mario Benjamin Menendez, Panglima Pasukan Argentina di Malvinas yang pernah bersumpah akan bertahan “sampai prajurit dan peluru yang terakhir”, menandatangani pernyataan menyerah Senin malam itu. Segera setelah itu Panglima Pasukan Inggris yang memimpin penyerbuan ke Malvinas Mayjen Jeremy Moore mengirim kawat ke PM Margaret Thatcher: “Kepulauan Falklands kembali berada di bawah pemerintahan Inggris seperti dikehendaki penduduknya. God save the Queen.”
Tiga posisi pertahanan Argentina sehari sebelumnya telah jatuh: Tumbledown Mountain dan Mount William di sebelah barat daya kota dan Wireless Ridge di barat laut. Tinggal “Lini Galtieri” yang merupakan garis pembelaan Port Stanley terakhir, yang dipertahankan sekitar 7.000 tentara Argentina. Sambil melemparkan granat, pasukan payung dan pasukan komando Inggris bergerak maju dari berbagai posisi mereka, mengepung Argentino dan selama beberapa hari dihujani tembakan dari laut, mortir dan artileri, yang sudah terkepung rapat.
Banyak tentara Argentina yang dilaporkan melemparkan senjata mereka dan lari mundur. Menjelang senja, bendera-bendera putih terlihat dikibarkan dari bangunan-bangunan kayu di sekeliling kota pelabuhan tersebut. Pertempuran telah berakhir. Kemenangan ini disambut gembira di Inggris. Ratu Elizabeth II[[6]], yang putranya Pangeran Andrew, 22 tahun, bergabung dalam satgas ke Malvinas sebagai pilot helikopter, menyatakan “gembira dan lega”.
PM Thatcher[[7]] mempertimbangkan untuk mengunjungi Malvinas. Maksud dan tujuan mengunjuni pulau tersebut adalah untuk memanfaatkan kemenangan yang mengangkat tinggi popularitasnya ini untuk kepentingan politiknya. Mengenai masa depan Malvinas, Thatcher telah mengisyaratkan: pemerintahan sendiri tampaknya merupakan penyelesaian jangka panjang terbaik. Namun Inggris juga menghadapi masalah: 11 ribu pasukan Argentina yang menyerah (banyak di antaranya sakit dan kelaparan) jelas merupakan beban.
Perang yang menewaskan 243 tentara Inggris dan 420 tentara Argentina (menurut pengumuman resmi, walau diduga lebih banyak lagi yang tewas) menimbulkan guncangan lebih hebat di Argentina. Protes terhadap kekalahan di Malvinas berubah menjadi protes pada rezinl militeryang berkuasa. Kekalahan di Malvinas memang telah mengakhiri dukungan populer rakyat kepada junta militer Argentina yang telah berkuasa selama 6 tahun terakhir. Tatkala Presiden Galtieri melancarkan serbuan dan menduduki Malvinas 2 April lalu, sekonyong-konyong Argentina yang terpecah belah seakan bersatu. Galtieri, 55 tahun, mendadak dianggap pahlawan bangsa. Puluhan ribu orang berteriak menyebut namanya dalam suatu demonstrasi dukungan rakyat segera setelah tentara Argentina menduduki Malvinas[[8]].
Kini situasi berbalik. Galtieri, yang memerintahkan Brigjen Menendez menyerah, dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Letjen Leopoldo Fortunato Galtieri malahan kehilangan dukungan para rekannya. Selasa malam, sehari setelah tentara Argentina di Malvinas menyerah, para jenderal yang berkuasa memutuskan untuk mengganti Galtieri. Ia diberi pilihan: mengundurkan diri atau didepak ke luar. Galtieri, yang menjabat presiden selama 6 bulan, memutuskan mundur sebagai Panglima AD dan Presiden.
Selesainya perang di Malvinas mengembalikan Argentina kepada situasi dalam negeri yang sulit, yang kini mungkin lebih parah. Keadaan ekonomi: inflasi mencapai 131%, angka pengangguran 13% dan resesi ekonomi dunia yang memukul hebat industri dalam negeri, jelas menghantam negara yang berpenduduk sekitar 36 juta tersebut. Kekalahan Argentina akhirnya membuat presiden Argentina Jenderal Leopold Galtieri mengundurkan diri sebagai panglima AD dan presiden. BBC mengomentari pengunduran diri itu “orang yang memulai perang di Falkland menjadi korbannya yang paling akhir.

2. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perspektif Hukum Internasional terhadap perebutan kepulauan falkland/malvinas dan dampak yang di timbulkan dari peperangan ?
2.      Apa kendala penyelesaian sengketa kepulauan falkland/malvinas ?
3. Tujuan Pembuatan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
·         Untuk mengetahui  perspektif Hukum Internasional terhadap perebutan kepulauan falkland/malvinas dan dampak yang di timbulkan
·         Untuk mengetahui kendala penyelesaian sengketa kepulauan falkaland/malvinas
4. Manfaat Pembuatan
  • Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut dalam aspek yang sama maupun aspek yang berhubungan
  • Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan penulis dalam Mata Kuliah Hukum Internasional yang telah dipelajari pada masa perkuliahan  



 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1. Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter[[1]] atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971, Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam  perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
Secara implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan Nasional, tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan kepentingan antar kelompok dalam tubuh bangsa sendiri. Dari sini timbullah situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut. Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.
Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.
Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.
Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.
3. Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation)  dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.


4. Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
1. Dieter Fleck
Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.
2. Pietro Verri
Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.
3. Hans-Peter Gasser
Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :
  1. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
  2. Penyanderaan;
  3. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
  4. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.
Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.




 
BAB III
PEMBAHASAN


Kepulauan Falkland adalah sebuah wilayah luar negeri Britania Raya Samudra Atlantik Selatan yang terdiri dari dua pulau utama, Falkland Timur dan Falkland Barat, serta beberapa pulau kecil. Ibu kotanya, Stanley, terletak di Falkland Timur[[1]]. Kedaulatan kepulauan ini dipertentangkan oleh Argentina yang menamakannya Islas Malvinas dalam bahasa Spanyol. Nama itu diambil dari bahasa Perancis Iles Malouines yang berasal mula ketika nelayan dari St Malo menduduki Falkland pada masa yang singkat. Kepulauan Falkland digolongkan oleh Komite Dekolonisasi PBB sebagai salah satu dari 16 Wilayah Jajahan di dunia. Kepulauan Falkland terletak 483 km dari daratan Amerika Selatan. Dia terdiri dari dua pulau utama, Falkland Timur dan Falkland Barat , dan sekitar 700 pulau-pulau kecil. Luas wilayah daratan sebesar 12.173 km² dengan panjang garis pantai ±1.288 km[[2]].
Menurut catatan orang-orang Spanyol dan Argentina, pulau Falkland pertama kali ditemukan oleh navigator Esteban Gomez, yang berlayar bersama Magelan. Catatan orang Inggris menganggap orang yang melihat pertama kali pulau tersebut adalah pelaut Jhon Davis.[[3]]
Pulau tersebut tetap diduduki sampai dengan tahun 1764, pada saat pendudukan (perkampungan) efektif dilakukan oleh Perancis di Port Louis di timur Falkland. Perkampungan tersebut kemudian dijual pada Spanyol (dan dinamai menjadi Port Solelad) di tahun 1767, dan dipertahankan oleh Spanyol sampai dengan tahun 1811. Sementara itu, pendaratan Inggris di tahun 1765 di pulau Saunders, satu mil dari Falkland barat, diikuti dengan pembangunan perkampungan di Port Egmont (di Falkland Barat) satu tahun kemudian. Penduduk Inggris tersebut diusir oleh pasukan Spanyol di tahun 1770 (mengikuti pertukaran deklarasi pemerintah Inggris dan Spanyol) dan penduduk Inggris tersebut menarik diri secara selanjutnya di tahun 1774.
1.Perspektif Hukum Internasional Terhadap Perebutan Kepulauan Falkland/malvinas dan Dampak yang Ditimbulkan dari Peperangan
Frontiers are the chief anxiety of nearly every Foreign Office in the civilized world“, demikian tukas Lord Curzon dalam kuliahnya yang termasyhur di Universitas Oxford pada tahun 1907, genap seratus tahun yang silam. Pernyataan mantan Wakil Kerajaan Inggris yang menyelia lima komisi perbatasan di anak benua India sebelum menjadi Menteri Luar Negeri itu mengandung kebenaran profetis. Dua Perang Dunia yang berkecamuk sesudahnya tidak lepas dari ambisi teritorial sejumlah aktor penting percaturan politik dunia pada masa itu.
Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk tereskalasi menjadi konflik bersenjata.
Di berbagai penjuru dunia, kontrol atas wilayah merupakan sesuatu yang diperebutkan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia. Kepulauan Falkland/Malvinas adalah salah satu saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah. Peta dunia kontemporer seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang statis.
International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan. Bahkan masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum disepakati oleh negara-negara yang berbatasan. Memang, banyak di antara pertentangan yang terjadi baru berlangsung di tataran diplomasi, namun tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk menjadi konflik yang berujung perang: “war starts where diplomacy ends“.
Sejarah dunia hanya mengenal tiga cara untuk mensahkan perbatasan antarnegara:  negosiasi, litigasi, atau kekuatan bersenjata. Dalam studi konflik internasional, dengan mudah terlihat bahwa sengketa wilayah masih merupakan sumber pertentangan yang paling potensial. Dengan demikian, masalah perbatasan antarnegara adalah suatu ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Karena menyangkut kedaulatan yang seringkali sifatnya tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.
Negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam penentuan batas maritim, UNCLOS 1982 mendorong negara-negara untuk menentukannya melalui jalur perundingan. Indonesia juga sudah mengimplementasikan ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam hukum nasional. Ketentuan UNCLOS yang mengharuskan negara untuk berunding adalah [[4]]:
- Pasal 83 : Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil.
-  Pasal 74 : Penetapan ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil.
Perbatasan internasional juga merupakan faktor penting dalam upaya identifikasi dan pelestarian kedaulatan nasional. Bahkan negara-negara bertetangga yang menikmati hubungan yang paling bersahabat pun perlu mengetahui secara persis lokasi perbatasan mereka guna menegakkan hukum dan peraturan masing-masing negara. Oleh karena itu, penetapan perbatasan antarnegara secara jelas tidak hanya dapat mengurangi resiko timbulnya konflik perbatasan di kemudian hari, tetapi juga dapat menjamin pelaksanaan hukum di masing-masing sisi perbatasan.
1.1 Dampak yang Ditimbulkan dari Peperangan
Bagi kedua negara, peperangan tersebut lebih menunjukkan strategi besar dari negara-negara yang tengah bergelut dengan kemerosotan status masing-masing. Argentina yang perekonomian dan rakyatnya merosot tajam (saat itu) memerlukan pengalihan perhatian. Sedangkan Inggris yang juga merosot statusnya (saat itu) sebagai kekuatan imperial besar perlu menunjukkan kepada dunia bahwa dia tetap tidak boleh diremehkan. Akibat kekalahan argentina pada perang ini ditambah masalah-masalah ekonomi yang semakin parah di dalam negeri, Pemerintah Militer Argentina mulai mendorong transisi bertahap dan membawa negara itu kepada pemerintahan yang demokratis. Dengan tekanan publik, junta militer Argentina akhirnya menghapuskan larangan-larangan terhadap partai-partai politik dan memulihkan kebebasan-kebebasan politik yang mendasar. Argentina berhasil kembali kepada demokrasi dengan damai.



1.1.1 Pemulihan hubungan diplomatik
Argentina memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Inggris. Pada September 1995, Argentina dan Inggris menandatangani suatu perjanjian untuk meningkatkan eksplorasi minyak dan gas di Atlantik Barat Daya, dan menghapuskan masalah yang potensial sulit serta membuka jalan untuk kerja sama lebih jauh antara kedua negara. Pada tahun 1998, Presiden Argentina (saat itu) Carlos Menem mengunjungi Inggris dalam kunjungan resmi pertama oleh seorang presiden Argentina sejak tahun 1960-an[[5]].
1.1.2 Pasang Surut hubungan Argentina – Inggris
Hubungan kedua negara ini setelah berakhirnya Perang Malvinas memang telah mulai membaik sejak era 90-an, namun tak bisa dipungkiri masih ada riak-riak kecil yang timbul seperti pada 2007 saat Presiden Argentina (saat itu) Nestor Kirchner menyatakan kemenangan yang diperoleh Pemerintah Inggris ketika perang untuk memperebutkan Malvinas hanya "kemenangan kolonial" sementara. Kirchner juga menegaskan kepada mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher bahwa Inggris memang memenangi perang karena memperoleh dukungan dari negara-negara besar lainnya. Namun sebenarnya, kata Kirchner, sampai sekarang rakyat Argentina sebagian besar menilai Malvinas masih bagian Argentina[[6]].
Menanggapinya, mantan PM Thatcher saat berpidato di radio memperingati 25 tahun Perang Malvinas, kembali menegaskan keputusannya mengirim pasukan ke Atlantik Selatan pada bulan April 1982 adalah sebuah tindakan yang benar. "Agresi sudah dikalahkan dan situasi sudah kembali pulih. Ketika itu kami menjunjung tinggi keinginan rakyat setempat dan kami anggap sangat penting," demikian kata Thatcher di radio[[7]].
Thatcher juga berpesan supaya rakyat Falkland tetap bisa hidup dengan cara-cara mereka sendiri sesuai dengan situasi di Falkland untuk mencapai kesejahteraan di masa mendatang dengan pemerintahan yang sesuai amanat hati nurani rakyat. Pesan Thatcher tersebut seakan ingin menegaskan bahwa apa pun perubahan yang terjadi di Inggris harus memperoleh dukungan dari rakyat kepulauan itu.
Hingga saat ini Inggris memang masih menolak menyerahkan Falkland/Malvinas kepada Argentina dengan alasan rakyat Falkland tidak bersedia "kembali" ke wilayah Argentina. Pemerintah Inggris juga masih mempertahankan markas militer yang besar di Kepulauan Falkland. Namun, berbagai peninggalan zaman perang kini sudah dijadikan situs wisata[[8]].
Oleh sebab itu, tak bisa dipungkiri masalah sengketa ini masih tetap akan jadi komoditi politik bagi para elit kedua negara untuk menarik simpati rakyat walaupun mungkin rakyatnya sendiri sudah cuek-bebek dan lebih memilih melakukan rivalitas di lapangan hijau sepakbola.
1.1.3 Pembelajaran Perang Falkland/Malvinas
            Perang Malvinas juga mengajarkan pada kita tentang pemahaman strategi perang secara mendalam dan juga Perang Malvinas juga mengajarkan pada kita tentang penerapan strategi perang dalam kehidupan sehari - hari atau dalam dunia usaha atau bisnis. Argentina secara terang - terangan melakukan serangan secara frontal dengan Inggris dengan tanpa melakukan perhitungan secara mendetail tentang kekuatannya sendiri baik dalam kekuatan angkatan udara, kekuatan angkatan laut dan kekuatan angkatan darat. Penyerangan pertama yang dilakukan oleh pihak Argentina memang dilakukan oleh tentara profesional dan tentara wajib militer (Conscript). Sayangnya sebagian besar kekuatan yang menduduki kepulauan ini adalah tentara wajib militer yang tentu secara moral berbeda jauh dengan tentara regular atau professional. Dari pihak angkatan udara Argentina sendiri tidak ada dukungan logistik yang baik terutama dukungan amunisi peluru kendali anti kapal (Anti Ship Missile). Pihak angkatan udara hanya didukung kurang dari 10 missile Exocet buatan Perancis.
Dari pihak angkatan laut, Argentina mempunyai satu kapal induk Vientico de Mayo yang termasuk kategori alumni perang dunia II dan beberapa kapal perang termasuk General Belgrano (Battleship) yang juga lulusan perang dunia II. Presiden Argentina yang berkuasa saat itu Jendral Leopoldo Galtieri membuat keputusan yang menjerumuskan Argentina ke dalam perang yang tidak berimbang dan membawa dampak ekonomi yang sangat luas melawan Inggris dimana secara ekonomi Ingris jauh lebih unggul secara materi maupun kualitas dalam armada perangnya meski armada perang Inggris yang dibawa kalah secara kuantitas atau jumlah.
Perang Malvinas ini juga membuka cakrawala baru dalam strategi perang udara dan perang anti kapal secara menyeluruh dimana perang Malvinas ini merupakan perang modern yang menerapkan keunggulan strategi dan teknologi perang meliputi penggunaan radar, missile atau peluru kendali anti kapal dan anti pesawat, kapal induk, kapal perang termasuk kapal selam ( Baik berteknologi Nuklir dan Diesel konvensional ), kapal berjenis Fregat ( Kapal perang ringan anti pesawat ), kapal berjenis Cruiser / Perusak ( Kapal perang anti pesawat dan kapal selam ) dan kapal logistik.
Inggris membawa teknologi perang generasi terakhir pada matra udara dan lautnya. Pada matra laut Royal Navy membawa dua kapal induknya dimana peranan kapal induk ini sangat vital mengingat Inggris jauh dari pangkalan udaranya. Pada matra udaranya Inggris juga membawa pesawat generasi akhir yang baru saja masuk skuadron angkatan lautnya yaitu pesawat Harrier yang mampu tinggal landas secara vertikal ( VTOL - Vertical take off and Landing ).
2. Kendala Penyelesaian Sengketa Kepulauan Falkland/Malvinas
            Walaupun sudah 28 tahun, sengketa kedaulatan pulau Malvinas atau Falkland terus mengundang perdebatan dan kontroversi atas kepemilikan pulau yang diperebutkan Inggris dan Argentina. Tahun 1982 di bulan Mei, perang berskala besar terjadi antara kedua negara itu. Konon, perang Malvinas bukan saja menyoal perebutan pulau, namun juga ajang adu gengsi dan harga diri dua negara.
Mulanya, seperti pada tulisan saya sebelumnya yang membahas tentang ini disebabkan ketika sebuah kapal perang Inggris Clio pada tahun 1833 secara tiba-tiba muncul di Pulau Falkland dan berlabuh di sana dengan menurunkan bendera Argentina yang terdapat pada pulau itu yang digantikan dengan menaikkan The Union Jack. Hal ini memicu emosi Argentina karena merasa harga dirinya di injak-injak dengan penurunan bendera itu. Setelah itu kedua negara saling klaim dan saling tuduh kerena telah berbuat seenaknya terhadap kepulauan itu. Sehingga sampailah terjadinya perang besar antara Argentina dan Inggris dalam memperebutkan hak penuh atas kepulauan Malvinas atau Falkland pada bulan Mei 1982, kedua negara sama-sama mengerahkan pasukan dan persenjataan militernya untuk meraih kemenangan walaupun Argentina lebih lemah secara militer dibanding Inggris tetapi Argentina melakukan serangan lebih dulu dan mengerahkan militernya dengan sangat maksimal, padahal kondisi dalam negeri Argentina saat itu sedang kacau sepeninggal diktator Juan Peron. (Angkasa, Guerra De Las Malvinas, 2007)[[9]].
Keadaan di dalam negeri Inggris dan Argentina saat itu juga menjadi sebab musabab kenapa perang yang mempertaruhkan sebuah pulau yang memiliki cuaca buruk dan tidak terlalu menarik dari sisi ekonomi, harus terjadi. Inggris yang ketika itu mengalami krisis pengakuan internasional sebagai negara imperial, mengambil resiko untuk berperang dengan Argentina, supaya negaranya kembali mendapat pengakuan dan tak bisa diremehkan. Sedangkan situasi Argentina yang mengalami kemerosotan ekonomi dan krisis kepemimpinan sepeninggal seorang diktator yang menguasai negara itu, sepakat melawan Inggris hanya untuk mengalihkan perhatian rakyatnya.
Rabu (19/5), kantor berita reuters melaporkan bahwa, Presiden Argentina, Cristina Kirchner, kembali meminta dibukanya pintu perundingan masalah kepulauan Malvinas (Falkland) dengan Inggris yang memanfaatkan  panggung KTT Uni Eropa-Amerika Latin yang berlangsung di Madrid, Spanyol, untuk menyampaikan seruan bagi dibukanya kembali perundingan masalah sengketa kepulauan tersebut[[10]].
Namun Inggris merespon dengan penolakan akan seruan Cristina ini, yang menginginkan dibukanya kembali perundingan persengketaan. Pada Februari 2010, kedua negara juga mengalami ketegangan akibat sengketa klasik ini. Saat itu, Christina mengeluarkan dekrit untuk mengontrol semua pelayaran ke dan dari kepulauan itu.
Walapun begitu, hubungan dan kerjasama kedua negara di bidang lain tak terganggu dengan sejarah perang yang menewaskan sekitar seribu orang itu.
Ada benarnya memang jika melihat niat Christina dalam hal ini Argentina untuk berunding kembali dengan Inggris terkait masalah Malvinas (Argentina) atau Falkland (Inggris). Kekhawatiran akan terbukanya kembali masalah ini di masa mendatang terbuka lebar, bahkan bukan tak mungkin akan mempengaruhi hubungan kedua negara akibat perang yang dahulu sebagian besar disebabkan karena gengsi.





 
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
1.1 Kesimpulan dari Prespektif Hukum Internasional
Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk tereskalasi menjadi konflik bersenjata.
Di berbagai penjuru dunia, kontrol atas wilayah merupakan sesuatu yang diperebutkan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia. Kepulauan Falkland/Malvinas adalah salah satu saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah. Peta dunia kontemporer seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang statis.International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan.
Begitu juga dengan perebutan atau sengketa kepulauan falkland yang di perebutkan oleh negara inggris dan argentina, jadi peperangan yang terjadi kedua negara tersebut masi wajar walaupun mengakibatkan adanya korban jiwa, kemeresotan perekonomian, namun tidak melanggar hukum perang yang sesuai dengan peraturan HI dan hukum Militer.

1.2 Kesimpulan dari kendala penyelesaian sengketa kepulauan Falkland
Inggris dan Argentina saling mengklaim kepulauan yang mengandung cadangan minyak tersebut. Bagi Argentina, kepulauan yang disebutnya Malvinas itu merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah kedaulatannya. Sebaliknya Inggris mengklaim bahwa ia telah menguasainya sejak 1833.
Pada 1982, kedua negara bahkan sempat terlibat perang yang dimenangkan Inggris setelah Argentina mengambil kepulauan itu.

2. Saran
2.1 Saran
            Dalam kasus sengketa kepulauan falkland antara inggris dan argentina, Hukum internasional dalam prespektif nya seharusnya mengusahakan negosiasi antara kedua negara, negosiasi ini di harapkan dapat memperkecil permasalahan yang terjadi dan menentukan siapa yang menjadi pemilik pulau falkland tersebut.

2.2 Saran
            Sebaiknaya kepulauan yang falkland tersebut di bagi dua oleh negara tersebut, karena kedua negara tersebut sama-sama mengakui kepulauan tersebut milik kedua negara dengan mengatakan bahwa kepulauan itu sudah lama di kuasai oleh inggris dan argentina mengatakan bahwa kepulauan itu bagian dari wilayah mereka.








 
DAFTAR PUSTAKA


Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002.
Ali M. Sungkar, Peran Strategis Deplu Dalam Menjaga Keutuhan NKRI
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.
Raden Terry Subagja, Overlapping Claim Blok Ambalat: DasarKlaim dan Mekanisme Penyelesaian, Jurnal Diplomasi Kementerian Luar Negeri Vol.2 No.4, Desember 2010, hlm 72.
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
Penghormatan Terhadap Hukum Humaniter Internasional : Buku Pedoman untuk Anggota Parlemen No. 1 tahun 1999, ICRC, 1999.
C. de Rover, To Serve & To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Brig. Jend TNI. (Purn). GPH. Haryo Mataram, S.H, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.
Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Agustus 1999.
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/28/teropong/3559326.htm
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0706/16/ln/3604487.htm
http://luar-negeri.kompasiana.com/2010/05/20/sengketa-malvinas-tak-kunjung-usai




[[1]]http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Falkland
[[2] ]http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Falkland#Geografi
[[3] ]Kepulauan Falkland, yang terletak sekitar 300 mil dari pantai Argentina, adalah sebuah Crown Colony (koloni inti) dari Hukum Konstitusional British. Kedaulatan atas mereka juga diklaim oleh Argentina, yang mengklaim Malvinas. Yang kebanyakan penduduk kecil penetap sebanyak sekitar 3000 orang yang kebanyakan berasal dari keluarga Inggris dari awal abad ke-19 dan seterusnya. Perairan pulau berisi kompleks pemancingan dan diduga memiliki nilai komersil karena terdapat endapan minyak dan gas. Sedangkan pada tahun 1982 pendudukan Argentina di pulau-pulau Falklands,Hubungan diplomatik antara Argentina dan Inggris dilanjutkan pada tahun 1990 tanpa prasangka terhadap klaim kedaulatan baik. Kedua negara mendirikan Komisi Perikanan Atlantik Selatan untuk melestarikan/menjaga stok ikan dan juga Komisi Atlantik Hidrokarbon untuk mempromosikan pengembangan minyak dan gas, pada tahun 1994 Majelis Konstituante Argentina menyetujui ketentuan dalam konstitusi baru mengesahkan klaim kedaulatan atas Malvinas
[[4]] Raden Terry Subagja, Overlapping Claim Blok Ambalat: DasarKlaim dan Mekanisme Penyelesaian, Jurnal Diplomasi Kementerian Luar Negeri Vol.2 No.4, Desember 2010, hlm 72.
[[5]] http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/28/teropong/3559326.htm
[[6]] Ibid
[[7]] http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0706/16/ln/3604487.htm
[[8]] Seperti kawasan ranjau, danau-danau bekas ledakan bom, dan berbagai monumen untuk memperingati tentara-tentara yang gugur di medan perang.

[[9]] http://luar-negeri.kompasiana.com/2010/05/20/sengketa-malvinas-tak-kunjung-usai
[[10]] http/:www.Kompas.com, 19/05)





[[1]] S.R Sianturi : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“








[ [1] ] Anthony Charles Lynton Blair (lahir di Edinburgh, Skotlandia, 6 Mei 1953; umur 58 tahun) atau dikenal dengan Tony Blair adalah seorang mantan Perdana Menteri Britania Raya (masa jabatan antara 2 Mei 1997 sampai 27 Juni 2007), First Lord of the Treasury, Menteri Pelayanan Sipil Britania Raya, dan Anggota Parlemen Britania Raya untuk daerah pemilihan Sedgefield di North East England. Ia juga berperan sebagai pemimpin Partai Buruh sejak kematian John Smith pada 1994 sampai tahun 2007.
[ [2] ] Presiden Argentina yang menjabat sejak 25 Mei 2003. Sebelumnya, Kirchner menjabat gubernur provinsi Santa Cruz (1991-2003)
[[3]] http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Falkland
[[4]] ibid
[ [5] ] Stanley (juga dikenal sebagai "Port Stanley") adalah ibukota dan hanya kota yang benar di Kepulauan Falkland . Hal ini terletak di pulau di Falkland Timur , di lereng yang menghadap utara, selatan Stanley Harbour , di salah satu bagian paling basah dari pulau-pulau
[ [6] ] Elizabeth II (lahir di Mayfair, London, 21 April 1926; umur 85 tahun) adalah Ratu Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara dan kepala Persemakmuran semenjak tahun 1952. Ia merupakan anak perempuan dari raja George VI. Dari pernikahannya dengan Pangeran Philip, sejak tahun 1947, ia mendapatkan empat anak laki-laki: Pangeran Charles, Putri Anne, Pangeran Andrew dan Pangeran Edward.
[ [7] ] Lahir: 13 Oktober 1925 di Grantham, Lincolnshire
[ [8] ] rekaman peritiwa 82 Soebagijo I.N, Wikipedia


SILAHKAN DI COPY <<<JANGAN LUPA TINGALKAN KOMENTAR YA..


5 komentar:

  1. izin buat referensi ya mas bro,,, thanks

    BalasHapus
  2. okeeeh mbak bro .. monggo di copy.smoga selesai karya tulisnya

    BalasHapus
  3. your welcome mas bro, senang bisa membantu. #Johanes Rahardian

    BalasHapus
  4. izin copy ya mas, buat tugas makalah hukum internsional, tenang aja mas cuma ngeliat sistematika penulisannya aja kok. makasih banyak :D
    Afif Dzulfiqar Farid~

    BalasHapus